Sabtu, 10 September 2016

POTENSI WAKAF UANG



POTENSI WAKAF UANG


DEDI ISKANDAR
Dediiskandar713@ymail.com

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI SYARIAH
1437 H/ 2016 M



A.    Wakaf

Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa yang artinya berhenti. Sedangkan secara istilah wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sedekah (Hasan, 2013). Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran islam. Harta yang sudah diwakafkan sudah bukan menjadi hak milik yang mewakafkan dan juga bukan menjadi hak milik nadzir melainkan manjadi hak milik Allah. Sedangkan menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf meyebutkan bahwa “wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejaheraan umum menurut syariah. The Shorter Encyclopedia of Islam menyebut pengertian wakaf menurut istilah hukum islam yaitu protect a thing, to prevent it from becoming the property of a third person. Pernyataan tersebut mengartikan bahwa memelihara sesuatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga. Barang yang ditahan itu haruslah benda yang tetap zatnya yang dilepaskan oleh yang punya dari kekuasaanya sendiri dengan cara dan syarat tertentu, tetapi dipetik hasilnya dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan yang ditetapkan oleh ajaran Islam (Anisa F,2004:2).

B.     Potensi Wakaf Uang

Dalam peristilahan syara secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yangpelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan,digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalahmenggunakan sesuai dengan kehendak wakif tanpa imbalan.Menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturanpemerintah no. 42 tahun 2006 dapat disarikan beberapa konsep perwakafansebagai berikut, wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk memisahkandan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkanselamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya gunakeperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1.         Wakif Yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat berupaperorangan, organisasi dan badan hukum.
2.         NazhirYaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikeloladan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.
3.         Harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secarapenuh dan sah oleh wakif.
4.         Ikrar wakaf yang dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagaibukti pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknyaguna dikelola oleh nazhir sesuai dengan peruntukkan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta
5.         Peruntukan harta benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsiwakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dankegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangandengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6.         Jangka waktu wakaf. Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitupada instrument wakaf uang.
Sebagai salah satu instrument fiskal Islam yang telah ada semenjak awal kedatangan Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa wakaf telah menunjukkanberbagai peran penting dalam mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi,pendidikan dan kebudayaan. Wakaf harus mampu berperan efektif dalammembangun umat, agar mampu mengurangi ketergantungan pendanaan daripemerintah. Wakaf terbukti mampu menjadi instrument jaminan sosial dalampemberdayaan masyarakat (Al Arif,2010:4).




C.    Hukum Wakaf menurut AL-Qur’an dan hadits

Di dalam Al-Qur‟an sebenarnya wakaf tidak disebutkan dengan tegas, namun beberapa ayat memberi petunjuk untuk mengamalkan wakaf sehingga dapat dijadikan rujukan seperti ayat yang menjadi rujukan dalam perwakafan adalah Ali-Imran: 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya Ayat ini menitik beratkan pada kata birr yang berarti kebaikan yang memiliki keterkaitan dengan kata infaq. Sehingga ayat ini sering dijadikan dalil utama wakaf yang bersumber dari al-Qur‟an yaitu:
1) Kebaikan
2) tindakan infak dan
3) harta yang dimiliki adalah paling dicintai (Isfandiar, 2008:55).
Ayat lain yang menjadi rujukan mengenai wakaf adalah Al-Baqarah: 261-262 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui Ayat tersebut mendorong manusia untuk berinfak, karena dengan berinfak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa ayat-ayat di atas menjadi dalil dalam diisyariatkannya ibadah wakaf yang merupakan salah satu bentuk sedekah (Huda, 2009:22). Selain Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai rujukan dalam mengamalkan wakaf, terdapat pula hadits yang dijadikan dasar mengamalkan wakaf: “Dari Abu Hurairah ra.., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim) Selain itu juga hadits mengenai praktik wakaf di zaman Rasulullah
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “wahai Rasulullah saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? ” Nabi saw menjawab:“Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”. Ibnu Umar berkata” Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara‟, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma‟ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata: “saya menceritakan hadist tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata „ghaira mutaatststilin malan‟ (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa‟i).
Di samping Hadits, Ulama Mazhab Hanafi juga membolehkan wakaf tunai. “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi‟I tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham(uang).” Di Indonesia Komisi Fatwa MUI juga mengeluarkan fatwa membolehkan wakaf tunai dengan merujuk pada hadist Ibn Umar. Pada saat itu, Komisi Fatwa MUI juga merumuskan definisi tentang wakaf, yaitu: “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya) untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.

D.    Wakaf Uang atau Wakaf Tunai

Selama ini masyarakat hanya mengetahui bahwa membayar wakaf dengan benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan. pohon yang diambil manfaatnya. Padahal saat ini sudah ada alternatif baru bagi waqif yang tidak memiliki asset untuk mewakafkan hartanya dengan cara wakaf tunai. Wakaf Tunai, atau lebih dikenal sebagai Cash wakaf, merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, atau kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga (Tim Dirjen Bimas, 2007: 3).
Wakaf tunai adalah wakaf yang diberikan oleh seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai (Tim Dirjen Bimas Islam, 2007:3). Pengkategorian wakaf ini tergantung pada bagaimana tujuan awal wakif memberikan dana tersebut, batasan waktu yang diinginkan, serta penggunaannya (fokus pendistribusian) oleh nadzir. Selanjutnya, wakaf uang dalam definisi Departemen Agama (Djunaidi dkk., 2007a:3 dalam Hasan, 2013:21) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Legitimasi kebolehan wakaf uang diberikan MUI karena wakaf tidak lagi terbatas pada benda yang tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau pokoknya. Uang masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya. Definisi terbaru dari wakaf uang menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, pasal 1 angka (1). Wakaf uang dalam PMA ini diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian uang miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (Anisa F.2004:4).

E.     Pandangan ulama tentang wakaf uang

Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktukkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda yang tidak bergerak dipastikan a‟in-nya memiliki sifat yang kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Untuk wakaf benda bergerak dibolehkan berdasarkan atsar yang membolehkan mewakafkan senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Begitu juga dengan wakaf benda bergerak seperti buku atau kitab-kitab, menurut ulama Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan nash. Mereka menyatakan untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat.
Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan mushaf dimana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar (uang). Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan Bi Al-Urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan „urf atau adat kebiasaan mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash. Sedangkan, Ulama pengikut mazhab Maliki berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak maupun tidak bergerak. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ulama mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya, lebih lanjut wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa wakaf uang dapat diqiyaskan atau dianalogikan dengan baju perang dan binatang, sebab terdapat persamaan illat antara keduanya. Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imam Maliki membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Namun apabila wakaf uang jika dikelola secara profesional memungkin uang yang diwakafkan akan kekal selamanya.
Mazhab Syafi‟I berpendapat boleh mewakafkan benda apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Namun Imam Syafi‟I mencegah adanya tukar menukar harta wakaf, menurut beliau tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Namun sebagian golongan syafi‟iah yang lain berpendapat boleh ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya dan sebagaian lain tetap menolaknya. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi‟I tidak membolehkan wakaf tunai karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya (Anisa F.2004:4).

F.     Rukun dan syarat wakaf

Unsur-unsur pembentuk yang juga merupakan rukun wakaf itu adalah:
1. Al-wakif atau orang yang melakukan perbuatan.
2. Al-mauquf atau harta benda yang akan diwakafkan
3. Al-mauquf alaih atau sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf, dapat dibagi menjadi dua macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah wakaf dimana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf dzurry adalah wakaf di mana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu yaitu keluarga keturunannya.
4. Sighah atau pernyataan pemberian wakaf, baik dengan lafadz, tulisan maupun isyarat. Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya (Tim Dirjen Bimas Islam, 2007: 20).
Kecakapan bertindak di sini meliputi empat kriteria sebagai berikut:
1. Merdeka
2. Berakal sehat
3. Dewasa (baligh)
4. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Adapun syarat-syaratnya, yaitu:
1. Orang yang mewakafkan hartanya (wakif) Seorang wakif haruslah orang yang sepenuhnya berhak untuk menguasai benda yang akan diwakafkan. Wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri, tidak dipaksa orang lain.
2. Barang atau benda yang diwakafkan (mauquf) Benda yang akan diwakafkan harus kekal zatnya. Berarti ketika timbul manfaatnya, zat barang tidak rusak. Hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa diwakafkan.
3. Sasaran wakaf atau tujuan wakaf (mauquf ‟alaih) Wakaf yang diberikan itu harus jelas sasarannya, dalam hal ini ada dua sasaran wakaf antara lain wakaf untuk mencari keridhoan Allah dan diperuntukkan untuk memajukan agama Islam atau karena motivasi agama, dan wakaf untuk meringankan atau membantu seseorang atau orang tertentu bukan karena motivasi agama selama hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan agama Islam.
4. Pernyataan ikrar wakaf (sighat) Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan tulisan atau lisan. Dengan pernyataan itu, maka lepaslah hak wakif atas benda yang telah diwakafkannya.
5. Tunai tidak khiyar, karena wakaf berarti memindahkan milik waktu itu.

G.    Peran Wakaf pada Pemberdayaan Masyarakat

Dalam kehidupan kaum Muslim, Islam sangat menekankan pentingnya keadilan sosial. Dalam beberapa ayat, Allah SWT selalu menekankan betapa pentingnya keadilan , karena keadilan akan membimbing pada ketakwaan (QS Al-Ma>’idah: 8), ketakwaan akan membawa pada kesejahteraan (QS Al-A’ra>f: 96). Sebaliknya, ketidakadilan akan membawa kesesatan (QS Al-Qas}as}: 50) dan akan menjauhkan manusia dari rahmat Tuhan. Intisari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an mengibarkan panji-panji amanah, egaliter, prinsip emansipatoris dan keadilan sosial. Para pengelola lembaga wakaf di Indonesia harus peduli dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Lembaga wakaf terutama yang memiliki basis organisasi massa ataupun badan hukum, dapat menjadi salah satu sub-sistem alternatif di masyarakat yang saling bahu-membahu dengan sub-sistem masyarakat lainnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Wakaf sebagai salah satu pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalahmasalah sosial dan kemanusiaan seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat.
Amandemen Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan, ‚Bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat‛ (Pasal 28 UUD 1945). Sedangkan dalam pasar  dinyatakan, ‚Bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengam martabat kemanusiaan‛. Beberapa negara yang menganut negara kesejahteraan (welfare state) selama ini telah memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan asuransi sosial kepada penduduk negaranya. Dengan adanya jaminan sosial dapat menunjang pembangunan nasional yang berkesinambungan. Apabila negara masih belum mampu membiayai suatu jaminan sosial kepada masyarakatnya, maka harus didukung dengan sub-sistem lain, hal inilah yang menempatkan wakaf sebagai salah satu sub-sistem pendukung negara untuk memberikan jaminan sosial. Sistem perwakafan dapat dilakukan sebagai alternatif yang mungkin dalam merealisasikan jaminan sosial. Hal ini seiring dengan telah disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, yang telah mengamanatkan kepada Badan Wakaf Indonesia agar mengelola harta benda yang berskala nasional dan internasional.
Secara mendasar, perwakafan mengharuskan pokok harta tersebut kekal dan abadi, sehingga dikelola dan hasilnya diperuntukkan bagi program jaminan sosial termasuk bagi pemberdayaan masyarakat. Dalam ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang, yaitu wakaf uang untuk jangka waktu tertentu dan wakaf uang untuk selamanya.  Wakaf uang untuk jangka waktu tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar lebih aman dan memudahkan pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat jatuh tempo. Sedangkan wakaf uang untuk selamanya, pihak nazir memiliki wewenang penuh untuk mengelola dan mengembangkan uang wakaf untuk mencapai tujuan program wakaf yang dilakukan. Hasil pengelolaan dana wakaf dapat diperuntukkan bagi pemberdayaan masyarakat, seperti pemberdayaan pendidikan, kesehatan, sosial ataupun ekonomi. Bentuk pemberdayaan pendidikan misalnya dengan mendirikan sekolah gratis dengan kualitas baik atau bantuan bagi kesejahteraan guru. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu, bantuan gizi ibu hamil, serta persalinan gratis. Pemberdayaan sosial dapat berupa pelatihan kerja dan kewirausahaan. Pemberdayaan ekonomi berupa bantuan dana bergulir. (Al Arif, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar