POTENSI WAKAF UANG
DEDI ISKANDAR
Dediiskandar713@ymail.com
Dediiskandar713@ymail.com
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI SYARIAH
1437 H/ 2016 M
A.
Wakaf
Secara bahasa wakaf berasal dari kata
waqafa yang artinya berhenti. Sedangkan secara istilah wakaf menurut Abu
Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian
manfaat sedekah (Hasan, 2013). Wakaf adalah menahan sesuatu benda untuk diambil
manfaatnya sesuai dengan ajaran islam. Harta yang sudah diwakafkan sudah bukan
menjadi hak milik yang mewakafkan dan juga bukan menjadi hak milik nadzir
melainkan manjadi hak milik Allah. Sedangkan menurut Undang-undang No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf meyebutkan bahwa “wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejaheraan umum menurut
syariah. The Shorter Encyclopedia of Islam menyebut pengertian wakaf menurut
istilah hukum islam yaitu protect a thing, to prevent it from becoming the
property of a third person. Pernyataan tersebut mengartikan bahwa memelihara
sesuatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik
pihak ketiga. Barang yang ditahan itu haruslah benda yang tetap zatnya yang
dilepaskan oleh yang punya dari kekuasaanya sendiri dengan cara dan syarat
tertentu, tetapi dipetik hasilnya dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan
yang ditetapkan oleh ajaran Islam (Anisa F,2004:2).
B.
Potensi Wakaf Uang
Dalam peristilahan syara secara umum,
wakaf adalah sejenis pemberian yangpelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu
agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan,digadaikan, disewakan dan sejenisnya.
Sedangkan cara pemanfaatannya adalahmenggunakan sesuai dengan kehendak wakif
tanpa imbalan.Menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan
peraturanpemerintah no. 42 tahun 2006 dapat disarikan beberapa konsep
perwakafansebagai berikut, wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk
memisahkandan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkanselamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya gunakeperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah”.
Wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1.
Wakif Yaitu pihak
yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat berupaperorangan, organisasi
dan badan hukum.
2.
NazhirYaitu pihak
yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikeloladan dikembangkan
sesuai dengan peruntukkannya.
3.
Harta benda hanya
dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secarapenuh dan sah oleh wakif.
4.
Ikrar wakaf yang
dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagaibukti pernyataan kehendak
wakif untuk mewakafkan harta benda miliknyaguna dikelola oleh nazhir sesuai
dengan peruntukkan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta
5.
Peruntukan harta
benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsiwakaf, harta benda wakaf
hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dankegiatan ibadah; sarana dan kegiatan
pendidikan serta kesehatan; anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan
peningkatan ekonomi umat;dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang
tidak bertentangandengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6.
Jangka waktu wakaf.
Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitupada instrument wakaf uang.
Sebagai salah satu instrument fiskal
Islam yang telah ada semenjak awal kedatangan Islam. Fakta sejarah
memperlihatkan bahwa wakaf telah menunjukkanberbagai peran penting dalam
mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi,pendidikan dan kebudayaan.
Wakaf harus mampu berperan efektif dalammembangun umat, agar mampu mengurangi
ketergantungan pendanaan daripemerintah. Wakaf terbukti mampu menjadi
instrument jaminan sosial dalampemberdayaan masyarakat (Al Arif,2010:4).
C.
Hukum Wakaf menurut AL-Qur’an dan hadits
Di dalam Al-Qur‟an sebenarnya wakaf tidak
disebutkan dengan tegas, namun beberapa ayat memberi petunjuk untuk mengamalkan
wakaf sehingga dapat dijadikan rujukan seperti ayat yang menjadi rujukan dalam
perwakafan adalah Ali-Imran: 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya
Ayat ini menitik beratkan pada kata birr yang berarti kebaikan yang memiliki
keterkaitan dengan kata infaq. Sehingga ayat ini sering dijadikan dalil utama
wakaf yang bersumber dari al-Qur‟an yaitu:
1)
Kebaikan
2)
tindakan infak dan
3)
harta yang dimiliki adalah paling dicintai (Isfandiar, 2008:55).
Ayat lain yang menjadi rujukan mengenai wakaf
adalah Al-Baqarah: 261-262 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah Maha
luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui Ayat tersebut mendorong manusia untuk
berinfak, karena dengan berinfak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Hal inilah yang menjadi dasar bahwa ayat-ayat di atas menjadi dalil dalam
diisyariatkannya ibadah wakaf yang merupakan salah satu bentuk sedekah (Huda,
2009:22). Selain Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai rujukan dalam mengamalkan wakaf,
terdapat pula hadits yang dijadikan dasar mengamalkan wakaf: “Dari Abu Hurairah
ra.., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia)
meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)
Selain itu juga hadits mengenai praktik wakaf di zaman Rasulullah
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa
Umar bin al-Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang
kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata,
“wahai Rasulullah saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya
peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah
engkau (kepadaku) mengenainya? ” Nabi saw menjawab:“Jika mau, kamu tahan
pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”. Ibnu Umar berkata” Maka, Umar
menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada
fuqara‟, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu
sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari
(hasil) tanah itu secara ma‟ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain)
tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata: “saya menceritakan
hadist tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata „ghaira mutaatststilin
malan‟ (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”. (H.R. al-Bukhari, Muslim,
al-Tirmidzi dan al-Nasa‟i).
Di samping Hadits, Ulama Mazhab Hanafi
juga membolehkan wakaf tunai. “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi‟I tentang
dibolehkannya wakaf dinar dan dirham(uang).” Di Indonesia Komisi Fatwa MUI juga
mengeluarkan fatwa membolehkan wakaf tunai dengan merujuk pada hadist Ibn Umar.
Pada saat itu, Komisi Fatwa MUI juga merumuskan definisi tentang wakaf, yaitu:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya,
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya) untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang
mubah (tidak haram) yang ada”.
D.
Wakaf Uang atau Wakaf Tunai
Selama ini masyarakat hanya mengetahui
bahwa membayar wakaf dengan benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan. pohon
yang diambil manfaatnya. Padahal saat ini sudah ada alternatif baru bagi waqif
yang tidak memiliki asset untuk mewakafkan hartanya dengan cara wakaf tunai.
Wakaf Tunai, atau lebih dikenal sebagai Cash wakaf, merupakan wakaf yang
dilakukan seseorang, atau kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
(Tim Dirjen Bimas, 2007: 3).
Wakaf tunai adalah wakaf yang diberikan
oleh seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai (Tim Dirjen Bimas Islam, 2007:3). Pengkategorian wakaf ini tergantung
pada bagaimana tujuan awal wakif memberikan dana tersebut, batasan waktu yang
diinginkan, serta penggunaannya (fokus pendistribusian) oleh nadzir.
Selanjutnya, wakaf uang dalam definisi Departemen Agama (Djunaidi dkk., 2007a:3
dalam Hasan, 2013:21) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,
dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Legitimasi kebolehan wakaf uang
diberikan MUI karena wakaf tidak lagi terbatas pada benda yang tetap wujudnya,
melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau pokoknya. Uang
masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya. Definisi terbaru dari wakaf
uang menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi
Pendaftaran Wakaf Uang, pasal 1 angka (1). Wakaf uang dalam PMA ini diartikan
sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian uang
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah (Anisa F.2004:4).
E.
Pandangan ulama tentang wakaf uang
Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian
para ahli hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah
dipraktukkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan
benda bergerak. Benda yang tidak bergerak dipastikan a‟in-nya memiliki sifat
yang kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Untuk
wakaf benda bergerak dibolehkan berdasarkan atsar yang membolehkan mewakafkan
senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Begitu juga
dengan wakaf benda bergerak seperti buku atau kitab-kitab, menurut ulama
Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan
nash. Mereka menyatakan untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak
kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat.
Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan
mushaf dimana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan
mewakafkan dirham dan dinar (uang). Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa
mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan
Bi Al-Urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ulama Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan „urf atau adat kebiasaan
mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Sedangkan, Ulama pengikut mazhab Maliki berpendapat boleh mewakafkan benda
bergerak maupun tidak bergerak. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ulama
mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya, lebih
lanjut wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa wakaf uang dapat diqiyaskan
atau dianalogikan dengan baju perang dan binatang, sebab terdapat persamaan
illat antara keduanya. Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin
rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imam Maliki
membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Namun apabila wakaf uang jika
dikelola secara profesional memungkin uang yang diwakafkan akan kekal
selamanya.
Mazhab Syafi‟I berpendapat boleh
mewakafkan benda apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah barang
yang kekal manfaatnya, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Namun
Imam Syafi‟I mencegah adanya tukar menukar harta wakaf, menurut beliau tidak
boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Namun sebagian
golongan syafi‟iah yang lain berpendapat boleh ditukar agar harta wakaf itu ada
manfaatnya dan sebagaian lain tetap menolaknya. Menurut Al-Bakri, mazhab
Syafi‟I tidak membolehkan wakaf tunai karena dirham dan dinar akan lenyap
ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya (Anisa F.2004:4).
F.
Rukun dan syarat wakaf
Unsur-unsur
pembentuk yang juga merupakan rukun wakaf itu adalah:
1.
Al-wakif atau orang yang melakukan perbuatan.
2.
Al-mauquf atau harta benda yang akan diwakafkan
3.
Al-mauquf alaih atau sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf,
dapat dibagi menjadi dua macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy
adalah wakaf dimana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak
tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf dzurry adalah wakaf di
mana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu yaitu keluarga
keturunannya.
4.
Sighah atau pernyataan pemberian wakaf, baik dengan lafadz, tulisan maupun
isyarat. Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta).
Wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal
competent) dalam hal membelanjakan hartanya (Tim Dirjen Bimas Islam, 2007: 20).
Kecakapan
bertindak di sini meliputi empat kriteria sebagai berikut:
1.
Merdeka
2.
Berakal sehat
3.
Dewasa (baligh)
4.
Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Adapun
syarat-syaratnya, yaitu:
1.
Orang yang mewakafkan hartanya (wakif) Seorang wakif haruslah orang yang
sepenuhnya berhak untuk menguasai benda yang akan diwakafkan. Wakif tersebut
harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri, tidak dipaksa orang
lain.
2.
Barang atau benda yang diwakafkan (mauquf) Benda yang akan diwakafkan harus
kekal zatnya. Berarti ketika timbul manfaatnya, zat barang tidak rusak.
Hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa diwakafkan.
3.
Sasaran wakaf atau tujuan wakaf (mauquf ‟alaih) Wakaf yang diberikan itu harus
jelas sasarannya, dalam hal ini ada dua sasaran wakaf antara lain wakaf untuk
mencari keridhoan Allah dan diperuntukkan untuk memajukan agama Islam atau
karena motivasi agama, dan wakaf untuk meringankan atau membantu seseorang atau
orang tertentu bukan karena motivasi agama selama hal itu tidak bertentangan
dengan kepentingan agama Islam.
4.
Pernyataan ikrar wakaf (sighat) Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan
tulisan atau lisan. Dengan pernyataan itu, maka lepaslah hak wakif atas benda
yang telah diwakafkannya.
5.
Tunai tidak khiyar, karena wakaf berarti memindahkan milik waktu itu.
G.
Peran Wakaf pada Pemberdayaan Masyarakat
Dalam kehidupan kaum Muslim, Islam sangat
menekankan pentingnya keadilan sosial. Dalam beberapa ayat, Allah SWT selalu
menekankan betapa pentingnya keadilan , karena keadilan akan membimbing pada
ketakwaan (QS Al-Ma>’idah: 8), ketakwaan akan membawa pada kesejahteraan (QS
Al-A’ra>f: 96). Sebaliknya, ketidakadilan akan membawa kesesatan (QS
Al-Qas}as}: 50) dan akan menjauhkan manusia dari rahmat Tuhan. Intisari ajaran
Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an mengibarkan panji-panji amanah, egaliter,
prinsip emansipatoris dan keadilan sosial. Para pengelola lembaga wakaf di
Indonesia harus peduli dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Lembaga wakaf terutama yang memiliki basis organisasi massa ataupun badan
hukum, dapat menjadi salah satu sub-sistem alternatif di masyarakat yang saling
bahu-membahu dengan sub-sistem masyarakat lainnya dalam menyelesaikan persoalan
bangsa. Wakaf sebagai salah satu pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki
keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalahmasalah
sosial dan kemanusiaan seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya
manusia dan pemberdayaan masyarakat.
Amandemen Undang-undang Dasar 1945
menyebutkan, ‚Bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat‛ (Pasal 28
UUD 1945). Sedangkan dalam pasar dinyatakan, ‚Bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengam martabat kemanusiaan‛. Beberapa negara yang menganut
negara kesejahteraan (welfare state)
selama ini telah memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan asuransi sosial
kepada penduduk negaranya. Dengan adanya jaminan sosial dapat menunjang
pembangunan nasional yang berkesinambungan. Apabila negara masih belum mampu
membiayai suatu jaminan sosial kepada masyarakatnya, maka harus didukung dengan
sub-sistem lain, hal inilah yang menempatkan wakaf sebagai salah satu
sub-sistem pendukung negara untuk memberikan jaminan sosial. Sistem perwakafan
dapat dilakukan sebagai alternatif yang mungkin dalam merealisasikan jaminan
sosial. Hal ini seiring dengan telah disahkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf, yang telah mengamanatkan kepada Badan Wakaf Indonesia agar mengelola
harta benda yang berskala nasional dan internasional.
Secara mendasar, perwakafan mengharuskan pokok harta tersebut kekal dan
abadi, sehingga dikelola dan hasilnya diperuntukkan bagi program jaminan sosial
termasuk bagi pemberdayaan masyarakat. Dalam ketentuan undang-undang terdapat
dua model wakaf uang, yaitu wakaf uang untuk jangka waktu tertentu dan wakaf
uang untuk selamanya. Wakaf uang untuk
jangka waktu tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar lebih
aman dan memudahkan pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat jatuh
tempo. Sedangkan wakaf uang untuk selamanya, pihak nazir memiliki wewenang
penuh untuk mengelola dan mengembangkan uang wakaf untuk mencapai tujuan
program wakaf yang dilakukan. Hasil pengelolaan dana wakaf dapat diperuntukkan bagi
pemberdayaan masyarakat, seperti pemberdayaan pendidikan, kesehatan, sosial
ataupun ekonomi. Bentuk pemberdayaan pendidikan misalnya dengan mendirikan
sekolah gratis dengan kualitas baik atau bantuan bagi kesejahteraan guru.
Sedangkan pemberdayaan masyarakat dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan
pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu, bantuan gizi ibu hamil, serta
persalinan gratis. Pemberdayaan sosial dapat berupa pelatihan kerja dan
kewirausahaan. Pemberdayaan ekonomi berupa bantuan dana bergulir. (Al Arif,
2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar