Sabtu, 10 September 2016

Akad-akad dalam Asuransi Syariah



AKAD-AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH


Dedi Iskandar
Dediiskandar713@ymail.com

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekonomi Syariah 1437 H/2016 M

1.      Pengertian Akad
Akad-akad perjanjian merupakan salah satu perbedaan yang mendasar antar asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Akad dalam transaksi merupakan suatu hal yang utama, sehingga apanila suatu transaksi dilakukan tanpa didasari dengan akad yang jelas maka transaksi tersebut dapat dianggap meragukan atau berbahaya. Akad haruslah disusun dengan dasar niat untuk mencari ridha Allah SWT. Meskipul hal tersebut dalam kaitannya dengan transaksi ekonomi (Al Arif, 2015: 26).
Akad yang bertujuan untuk saling tolong menolong demi mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT. Dikenal dengan nama akad tabarru’. Pada akad ini bersifat tidak mencari keuntungan, melainkan berorientasi kepada manfaat, yaitu ridha dan pahala dari Allah SWT. Secara bahasa tabarru’ berarti bersedekah atau berderma. Sedangkan dalam artian yang lebih luas, tabarru’ adalah melakukan kebaikan tanpa persyaratan. Kemudian secara istilah, tabarru’ adalah mengerahkan segala upaya unttuk memberikan harta atau manfaat kepada orang lain, baik secara langsung maupun masa yang akan datang tanpa adanya kompensasi dengan tujuan kebaikan dan perbuatan ihsan (Sumanto, dkk: 2009).
2.      Akad Asuransi Syariah
Asuransi konvensional mengunakan akad jual beli. Hal itu berbeda dengan asuransi syariah yang memiliki tiga akad yaitu:
a)      Akad Tabarru
Tabarru’ berasal dari kata tabarra’a-yatabarra’u u-tabarru’an, artinya sumbangan, hibah dala kebaikan, atau derma (sula: 2004:46). Tabarru’ dalam makna hibah atau pemberian dapat kita lihat dalam firman Allah surat an-Nisa’ (4): 4 berikut ini:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: “... kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”
Dalam konteks akad asuransi syariah, tabarru’ berarti memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan membantu sama lain semata sesama peserta takaful (asuransi syariah) apabila ada di antaranya yang mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta asuransi syariah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong menolong (Sula, 2004: 12). Karena itu dalam akad tabarru’, pihak yang memberi dengan ikhlas memberikan sesuatu tanpa ada keinginan untuk menerima apapun dari orang yang menerima kecuali kebaikan dari Allah SWT. Hal ini berbeda dengan akad muwwadah dalam asuransi konvensional dimana pihak yang memberikan sesuatu kepada orang berhak menerima penggantian dari phak yang diberinya (J. Khalil, 2003: 12).
Dana tabarru’ dikhususkan sebagai dana tolong-menolong untuk membantu nasabah yang mengalami musibah. Dana tijari’ digunakan untuk biaya operasional perusahaan asuransi syariah. Kedua jenis dana ini harus dikelola secara terpisah antara dana tabarru dan dana tijari’ karena keberadaan dana tabarru’ dana tijari dilandasi dengan akad yang berbeda  ketidak jelasan dalam pengelolaan dana akan berdampak pada rusaknya akad dalam beransuransi syariah (Sumanto : 2009:47).
Sesuai dengan fatwa MUI, kedudukan kedudukan para pihak dalam akad tabarru’ adalah sebagai berikut:
a.       Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang terkena musibah.
b.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri).
c.       Perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta di luar pengelolaan investasi (Sula, 2004: 44).
b)      Akad tijarah (Mudharabah)
Akad lain yang dapat digunakan dalam bisnis asuransi syariah adalah akad mudharabah. Bentuk akad ini didasarkan prinsip profit and los sharing atau berbagia atas untung dan rugi. Dalam akad ini dana yang yang terkumpul dapat diinvestasikan oleh perusahaan asuransi, dimana resiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah. Dalam akad tijarah (Mudharabah) ini perusahaan asuransi mengunakan akad mudharabah mustyarakah, yaitu bentuk akad mudharabah dimana pengelolaan (mudharib) menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi tersebut. Fatwa MUI NO: 50/DSN-MUI/III/2006 Tentang akad mudharabah mustyarakah, akad mudharabah mustyrakah merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad mustyarakah.
Akad tijarah (mudharabah) ini hasil keuntungan akan diberikan sesuai dengan akad yang sama-sama dibuat sehingga tidak hanya mendapat keuntungan tapi juga peserta mendapatkan perlindungan resiko yang terjadi pada peserta. Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendaptkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan (Sula, 2004: 44)
c)      Akad Wakalah bil ujrah
Wakalah bil ujrah merupakan perikatan antara dua belah pihak pemberi kuasa (muwakil) yang memberikan kuasanya kepada (wakil), dimana (wakil) mewakilkan untuk mengerjakan sesuatu dengan memberi ujrah (fee/upah) kepada wakil yang pemengerjakan tugasnya dan kewabiban bagi wakil untuk menjalankan tugas dari muwakil dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh membatalkan secara sepihak. Jadi bisa dikatakan akad wakalah bil ujrah akan melahirkan sumber kewajiban yang akan dipenuhi (Agus Dkk, 2009: 94).
a.         Ketentuan akad Wakalah Bil Ujrah
1.      Wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2.      Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dan/atau  peserta melelkukan kegiatan lain sebagaimana disebutkan pada bagian ketiga angka 2 (dua) fatwa ini dengan imbalan pemberian ujrah (fee) wakalah bil ujrah dapat ditetapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving maupun non tabungan)  (Chairul H, 2015: 119).
b.        Ketentuan Akad wakalah bil ujrah
Adapun ketentuan akad wakalah bil ujrah sebagai berikut:
1.      Akad yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah
2.      Akad wakalah bil ujrah dilakukan antara peserta dengan perusahaan asuransi atau reasuransi, baik dalam hal tabarru’ maupun tabungan (saving).
3.      Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain :
a)      Kegiatan administrasi
b)      Pengelolaan dana
c)      Pembayaran klaim
d)      Underwriting
e)      Pengelolaan portofolio resiko
f)       Pemasaran
g)      Investasi
4.        Dalam akad bil ujrah,
harus disebutkan sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a)    Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b)   Besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c)    Syariah-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan; (Chairul H, 2015: 120).
5.       Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Wakalah Bil Ujrah
Kedudukan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah adalah sebagai berikut:
a)    Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk melalukan kegiatan sebagaimana disebutkan pada bagian ketiga angka 2 (dua) di atas.
b)      Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakil (pemberi kuasa).
c)      Peserta atau suatu badan/kelompok, dalam akad tabarru’ bertindak sebagai muwakil (pemberi kuasa) wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakil (peserta).
d)     Akad wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) sehingga wakil tidak menanggung resiko atas kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
e)      Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakalah (Sula, 2004: 177).
3.      Asas-asas Perjanjian (Kontrak)
Hukum perjanjian sebagaimana KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, asas personalitas, dan asas kejujuran atau itikad baik. Di dalam Islam ada beberapa asas hukum perjanjian, antara lain:
a.       Asas kebebasan berakad (al-Hurriyah)
Asas kebebasan berakad menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja dalam akad yang dibuat itu sesuai dengan kepentingannya (S. Anwar, 2007: 84). Walaupun memiliki kebebasan dalam perjanjian tetapi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat islam dan undang-undang yang berlaku.
b.      Asas keseimbangan atau kesetaraan (al-Musawah)
Asas ini dalam prinsip perjanjian mengandung unsur keseimbangan atau kesetaraan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Jadi di mata hukum sama, tidak ada yang membedakan.
c.       Asas keadilan (al-‘Adalah)
Perjanjian ini harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, tidak boleh mendatangkan kerugian bagi satu pihak (Anshori, 2010: 33).
d.      Asas kerelaan (Ridha’)
Setiap perjanjian harus didasarkan atas keridhaan tanpa ada paksaan di antara kedua belah pihak dan suka sama suka.
e.       Asas Mengikat (syartul Luzum)
Perjanjian yang dibuat merupakan perjanjian yang mengikat satu sama lain. Dalam kaidah usgul fiqh, “perintah itu pada dasarnya menunjukan wajib.
f.       Asas kejujuran (al-Amanah)

Hukum perjanjian syariah memiliki dasar penting berupa kejujuran atau iktikad baik seseorang tanpa ada yang disembunyikan (S. Anwar, 2007: 89).

Semoga dapat bermanfaat sebagai bahan referensi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar