AKAD-AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH
Dedi Iskandar
Dediiskandar713@ymail.com
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekonomi Syariah 1437 H/2016 M
Dediiskandar713@ymail.com
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekonomi Syariah 1437 H/2016 M
1. Pengertian Akad
Akad-akad
perjanjian merupakan salah satu perbedaan yang mendasar antar asuransi syariah
dengan asuransi konvensional. Akad dalam transaksi merupakan suatu hal yang
utama, sehingga apanila suatu transaksi dilakukan tanpa didasari dengan akad
yang jelas maka transaksi tersebut dapat dianggap meragukan atau berbahaya.
Akad haruslah disusun dengan dasar niat untuk mencari ridha Allah SWT.
Meskipul hal tersebut dalam kaitannya dengan transaksi ekonomi (Al Arif, 2015:
26).
Akad
yang bertujuan untuk saling tolong menolong demi mengharap ridha dan pahala
dari Allah SWT. Dikenal dengan nama akad tabarru’. Pada akad ini
bersifat tidak mencari keuntungan, melainkan berorientasi kepada manfaat, yaitu
ridha dan pahala dari Allah SWT. Secara bahasa tabarru’ berarti
bersedekah atau berderma. Sedangkan dalam artian yang lebih luas, tabarru’
adalah melakukan kebaikan tanpa persyaratan. Kemudian secara istilah, tabarru’
adalah mengerahkan segala upaya unttuk memberikan harta atau manfaat kepada
orang lain, baik secara langsung maupun masa yang akan datang tanpa adanya
kompensasi dengan tujuan kebaikan dan perbuatan ihsan (Sumanto, dkk: 2009).
2. Akad Asuransi Syariah
Asuransi
konvensional mengunakan akad jual beli. Hal itu berbeda dengan asuransi syariah
yang memiliki tiga akad yaitu:
a)
Akad Tabarru
Tabarru’ berasal dari kata tabarra’a-yatabarra’u u-tabarru’an, artinya sumbangan, hibah dala
kebaikan, atau derma (sula: 2004:46). Tabarru’ dalam makna hibah atau
pemberian dapat kita lihat dalam firman Allah surat an-Nisa’ (4): 4 berikut
ini:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ
مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: “... kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”
Dalam konteks akad asuransi syariah, tabarru’
berarti memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan membantu sama
lain semata sesama peserta takaful (asuransi syariah) apabila ada di antaranya
yang mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil dari rekening dana tabarru’
yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta asuransi
syariah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong menolong (Sula,
2004: 12). Karena itu dalam akad tabarru’, pihak yang memberi dengan
ikhlas memberikan sesuatu tanpa ada keinginan untuk menerima apapun dari orang
yang menerima kecuali kebaikan dari Allah SWT. Hal ini berbeda dengan akad
muwwadah dalam asuransi konvensional dimana pihak yang memberikan sesuatu
kepada orang berhak menerima penggantian dari phak yang diberinya (J. Khalil,
2003: 12).
Dana tabarru’
dikhususkan sebagai dana tolong-menolong untuk membantu nasabah yang mengalami
musibah. Dana tijari’ digunakan untuk
biaya operasional perusahaan asuransi syariah. Kedua jenis dana ini harus
dikelola secara terpisah antara dana tabarru
dan dana tijari’ karena keberadaan dana tabarru’ dana tijari dilandasi dengan akad yang berbeda ketidak jelasan dalam pengelolaan dana akan
berdampak pada rusaknya akad dalam beransuransi syariah (Sumanto : 2009:47).
Sesuai dengan fatwa MUI, kedudukan
kedudukan para pihak dalam akad tabarru’ adalah sebagai berikut:
a. Dalam
akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta atau peserta lain yang terkena musibah.
b. Peserta
secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’
lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri).
c. Perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari
para peserta di luar pengelolaan investasi (Sula, 2004: 44).
b)
Akad tijarah (Mudharabah)
Akad lain yang dapat digunakan dalam bisnis asuransi
syariah adalah akad mudharabah. Bentuk akad ini didasarkan prinsip profit
and los sharing atau berbagia atas untung dan rugi. Dalam akad ini dana
yang yang terkumpul dapat diinvestasikan oleh perusahaan asuransi, dimana
resiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah. Dalam akad
tijarah (Mudharabah) ini perusahaan asuransi mengunakan akad mudharabah
mustyarakah, yaitu bentuk akad mudharabah dimana pengelolaan (mudharib)
menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi tersebut. Fatwa MUI NO: 50/DSN-MUI/III/2006
Tentang akad mudharabah mustyarakah, akad mudharabah mustyrakah
merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad mustyarakah.
Akad tijarah (mudharabah) ini hasil
keuntungan akan diberikan sesuai dengan akad yang sama-sama dibuat sehingga tidak
hanya mendapat keuntungan tapi juga peserta mendapatkan perlindungan resiko
yang terjadi pada peserta. Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila
terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil
tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta
mendaptkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40
persen dari keuntungan (Sula, 2004: 44)
c)
Akad Wakalah bil ujrah
Wakalah bil ujrah merupakan perikatan antara dua belah pihak
pemberi kuasa (muwakil) yang
memberikan kuasanya kepada (wakil),
dimana (wakil) mewakilkan untuk
mengerjakan sesuatu dengan memberi ujrah (fee/upah) kepada wakil yang pemengerjakan tugasnya dan kewabiban
bagi wakil untuk menjalankan tugas dari muwakil dengan sebaik-baiknya dan tidak
boleh membatalkan secara sepihak. Jadi bisa dikatakan akad wakalah bil ujrah akan melahirkan sumber kewajiban yang akan
dipenuhi (Agus Dkk, 2009:
94).
a.
Ketentuan
akad Wakalah Bil Ujrah
1. Wakalah bil ujrah boleh dilakukan antara
perusahaan asuransi dengan peserta.
2. Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa
dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dan/atau peserta melelkukan kegiatan lain sebagaimana
disebutkan pada bagian ketiga angka 2 (dua) fatwa ini dengan imbalan pemberian ujrah (fee) wakalah bil ujrah
dapat ditetapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving maupun non tabungan) (Chairul H, 2015: 119).
b.
Ketentuan
Akad wakalah bil ujrah
Adapun
ketentuan akad wakalah bil ujrah sebagai berikut:
1. Akad
yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah
2. Akad wakalah
bil ujrah dilakukan antara peserta dengan perusahaan asuransi atau
reasuransi, baik dalam hal tabarru’ maupun tabungan (saving).
3. Objek wakalah
bil ujrah meliputi antara lain :
a)
Kegiatan administrasi
b)
Pengelolaan dana
c)
Pembayaran klaim
d)
Underwriting
e)
Pengelolaan portofolio
resiko
f)
Pemasaran
g)
Investasi
4.
Dalam akad bil ujrah,
harus
disebutkan sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a) Hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b) Besaran,
cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c) Syariah-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan; (Chairul H, 2015: 120).
5. Kedudukan Para Pihak
Dalam Akad Wakalah Bil Ujrah
Kedudukan
para pihak dalam akad wakalah bil ujrah adalah sebagai berikut:
a) Dalam
akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa)
untuk melalukan kegiatan sebagaimana disebutkan pada bagian ketiga angka 2
(dua) di atas.
b)
Peserta sebagai individu
dalam produk saving bertindak sebagai muwakil (pemberi kuasa).
c) Peserta
atau suatu badan/kelompok, dalam akad tabarru’ bertindak sebagai muwakil
(pemberi kuasa) wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas izin muwakil (peserta).
d) Akad wakalah
adalah bersifat amanah (yad amanah) sehingga wakil tidak
menanggung resiko atas kerugian investasi dengan mengurangi fee yang
telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
e)
Perusahaan asuransi sebagai
wakil tidak berhak memperoleh bagian dari investasi, karena akad yang digunakan
adalah akad wakalah (Sula, 2004: 177).
3. Asas-asas Perjanjian (Kontrak)
Hukum
perjanjian sebagaimana KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, asas
personalitas, dan asas kejujuran atau itikad baik. Di dalam Islam ada beberapa
asas hukum perjanjian, antara lain:
a. Asas kebebasan berakad (al-Hurriyah)
Asas
kebebasan berakad menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun
tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang
syariah dan memasukan klausul apa saja dalam akad yang dibuat itu sesuai dengan
kepentingannya (S. Anwar, 2007: 84). Walaupun memiliki kebebasan dalam
perjanjian tetapi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat
islam dan undang-undang yang berlaku.
b. Asas keseimbangan atau kesetaraan (al-Musawah)
Asas
ini dalam prinsip perjanjian mengandung unsur keseimbangan atau kesetaraan
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Jadi di mata hukum sama,
tidak ada yang membedakan.
c. Asas keadilan (al-‘Adalah)
Perjanjian
ini harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, tidak
boleh mendatangkan kerugian bagi satu pihak (Anshori, 2010: 33).
d. Asas kerelaan (Ridha’)
Setiap
perjanjian harus didasarkan atas keridhaan tanpa ada paksaan di antara kedua
belah pihak dan suka sama suka.
e. Asas Mengikat (syartul Luzum)
Perjanjian
yang dibuat merupakan perjanjian yang mengikat satu sama lain. Dalam kaidah usgul
fiqh, “perintah itu pada dasarnya menunjukan wajib.
f. Asas kejujuran (al-Amanah)
Hukum
perjanjian syariah memiliki dasar penting berupa kejujuran atau iktikad baik
seseorang tanpa ada yang disembunyikan (S. Anwar, 2007: 89).
Semoga dapat bermanfaat sebagai bahan referensi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar