Rabu, 29 Juni 2016

korupsi, kolusi dan pencucian uang

LAPORAN PALSU MENGHINDARI PAJAK, KORUPSI, KOLUSI DAN PENCUCIAN UANG
(Makalah ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Tugas Mata Kuliah)


Dosen mata kuliah



                                                                  Disusun oleh:          
Dedi Iskandar (1112086000011)
Sauqi Dawam (111208600032)

PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
 2016







KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin umat islam yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikunya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah  berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang singkat ini dengan judul “ Laporan Palsu Menghindari Pajak, Korupsi, Kolusi Dan Pencucian Uang”.
Makalah ini terdiri dari pokok-pokok bahasan materi yang membahas tentang Laporan Palsu menghindari pajak, korupsi, kolusi dan pencucian uang. Materi ini disajikan secara ringkas yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih.
Terima kasih kepada bpk. . selaku dosen pembimbing mata kuliah Profesi Keguruan  yang telah membimbing kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Selain itu kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman, yang telah bersedia membaca dan mempelajarinya. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi kita semua selaku calon generasi pendidik masa depan bangsa.












DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….........................    i
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I  PENDAHULUAN..................................................................................................
BAB II  PEMBAHASAN...................................................................................................
I.        Laporan palsu untuk menghindari pajak.....................................................................         
II.     Tindakan-tindakan penghindaran pajak..........................................................................
III.   Pasar Pada Masa Khulafaurrasyidin...............................................................................
IV.  Pasar dalam Pandangan Sarjana Muslim........................................................................
1.       Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798 M)................................................
2.       Evolusi Pasar Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)...................................................
3.       Pemikiran Thomas Aquinas Vs Ibnu Taimiah.............................................................
4.       Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1383 M)........................................
V.     Islam Dan Sistem Pasar.................................................................................................
VI.  Harga dan persaingan sempurna pada pasar Islami.........................................................
VII. Rekayasa Permintaan dan Penawaran...........................................................................
BAB III  KESIMPULAN.................................................................................................. ..
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................  









BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang

Pajak memiliki kontribusi yang cukup tinggi dalam penerimaan pendapatan negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan pendapatan negara dari sektor pajak berasal dari dua sumber yaitu, pendapatan dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan Internasional. Pendapatan pajak dalam negeri didominasi oleh PPh Non-Migas dan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, penerimaan pajak menjadi penyumbang terbesar dari penerimaan dan pembelanjaan negara.
Penerimaan dari sektor pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan negara. Namun, saat ini penerimaan pajak di Indonesia tergolong masih kurang karena realisasinya belum dapat mencapai target yang ditetapkan. Rendahnya penerimaan pajak berimplikasi terhadap kebijakan fiskal terutama dalam pembiayaan program-program strategis seperti jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal inilah yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan program pembangunan di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan-tindakan guna meningkatkan penerimaan pendapatan dari sektor pajak. Selain itu, menurut.
Penyelenggaraan Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris MPR RI Di samping itu masyarakat belum sepenuhnya berperanserta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung- jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tiga serangkai, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang semula merupakan istilah umum (“public term”) atau mungkin istilah ilmiah atau akademis (“scientific term”), kemudian berkembang menjadi istilah yuridis (“legal term”). Istilah korupsi menjadi istilah yuridis melalui Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, dan istilah Kolusi dan Nepotisme menjadi istilah yuridis melalui UU No. 28 tahun 1999 jo. Tap MPR No.XI/MPR/1998. Tiga serangkai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan sumber malapetaka suatu rezim, seperti diungkapkan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat berikut ini.
Singkat kata, KKN tidak lagi merupakan istilah yang berkonotasi positif seperti yang populer di tahun 1970-an, melainkan berubah makna menjadi sesuatu yang menjurus pada praktek-praktek kehidupan sosio-ekonopolitik kultural yang merugikan masyarakat luas, oleh karena itu lalu harus dihadapi dan ditanggulangi oleh masyarakat pada umumnya dan hukum pada khususnya Untuk mengetahui secara lebih mendalam gejala sosial yang berupa KKN dan alternatif penanggulangannya, terutama dari aspek kriminologis, sajian segenggam ini akan mengetengahkan pembicaraan yang berkisar pada upaya pemahaman tentang KKN dan alternatif penanggulangannya secara kriminologis.
Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberi manfaat yang nyata di bidang perekonomian, khususnya di dalam mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi telah memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatifdan menarik termasuk melayani transaksitransaksi keuangan yang melintasi batas negara. Jasa pemindahan dana melalui wire transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa internet banking dan electronic fund transfer memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening mereka di satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian, perkembangan teknologi tersebut ibarat ”pisau bermata dua”, di satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap bidang perekonomian dan bisnis, di sisi lain juga meningkatkan risiko adanya penyimpangan penggunaan teknologi tersebut untuk tujuan-tujuan jahat. Untuk itu penulis akan membahas terkait dengan “Laporan Palsu Menghindari Pajak, Korupsi, Kolusi Dan Pencucian Uang”


1.2  Rumusan masalah
Apa yang dimaksud dengan penghindaran pajak?
Apa saja tindakan penghindaran pajak?
Bagai mana hukuman para koruptor dan kolusi di Indonesia?
Bagaimana sanksi tindak pidana pencucian uang?

1.3  Metode

Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi dan kepustakaan, observasi yang dilakukan seperti studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan dengan tema makalah.



























BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pajak
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut oleh pemerintah berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Di Indonesia, lembaga pemerintah yang mengelola perpajakan negara adalah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

1.        Laporan palsu untuk menghindari pajak

Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban investasi. Wajar bila perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif. Menurut Arnold dan McIntyre (1995), penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion).
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

1.        Tindakan-tindakan Penghindaran pajak
Setiap wajib pajak ataupun badan usaha berusaha untuk meminimalkan beban pajak dengan berbagai tindakan-tindakan tetapi tidak melanggar perundang-undangan perpajakan hal ini dilakukan masih dalam ruang lingkup yang wajar. Dalam implementasinya wajib pajak ataupun badan usaha untuk meminimalkan beban pajak yaitu dengan melakukan perencanaan pajak, perencanaan pajak yang dilakukan dalam perusahaan yaitu dengan melakukan manajemen pajak.

2.        Celah-celah Penghindaran Pajak
Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) merupakan usaha meminimalkan biaya pajak yang masih dalam koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Biasanya penghindar pajak menggunakan celah-celah dari undang-undang yang belum mengaturnya. Salah satu cara melakukan Tax Avoidance yang populer saat ini adalah dengan menggunakan instrumen keuangan. Karena belum adanya peraturan perpajakan Indonesia yang baku dalam mengatur transaksi instrumen keuangan  tersebut, kita dapat mengintepretasikan pengakuan laba/rugi maupun utang/modal sesuai  pertimbangan manajemen.

3.        Cara-cara Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

1.       Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh:
1.            Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
2.            Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.

Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.

2.    Pindah Lokasi
       Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.

3.                  Penghindaran pajak secara yudiris
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.

4.        Perbedaan Penghindaran Pajak dan Penggelapan Pajak

Suatu perencanaan pajak atau disebut juga penghindaran pajak,harus dengan jelas dibedakan dengan penyelundupan/penggelapan pajak. Antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai perbedaan yang fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur baik secara teori maupun aplikasinya.Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama yaitu mengurangi beban pajak, namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Perencanaan  pajak  sesungguhnya  merupakan  tindakan  penstrukturan  yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara dengan cara penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran hukum dan akan diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Sedangkan penyelundupan pajak merupakan tindakan ilegal yangmelanggar perundang-undangan perpajakan dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi perpajakan. 
       
Ada  beberapa  pendapat  para  ahli  yang  membedakan  definisi  antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, antara lain :

21    James dan Prest yang diterjemahkan oleh Zain (2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya  untuk  memperkecil  jumlah  pajak  yang  terutang, sedangkan penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara  legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakanuntuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

22    Anderson  yang  diterjemahkan  oleh  Zain  (2003)  mendefinisikan, Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak,sedangkan penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.




B.     Pengertian Korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Didalam Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 188 Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. ( Al-Baqarah/2 : 188)
Tafsiran : menurut tafsir Nurul Qur’an yang dikarang oleh Alamah Kamal Faqih Imani, ayat diatas melarang kaum muslimin melakukan tindakan yang sangat buruk. Ayat ini memberi tahu bahwa tidak boleh memakan harta orang lain dengan tidak benar dan mencari harta dengan jalan yang salah. Selain itu tidak diperbolehkan merebut harta milik orang lain dengan jalan paksa dan tidak adil kemudian sang penindas (orang yang merebut harta) tersebut mengadu kepada para hakim sehingga mereka akan memberi para hakim sesuatu sebagai hadiah atau suap dengan tujuan memiliki harta orang lain dengan cara kekerasan. Apabila keadaan seperti itu maka telah melakukan dua kedzaliman besar : yaitu memakan hak orang lain dan penyuapan (Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an, (Jakarta, Al-Huda: 2003), hal.102)

Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”

C.     Pengertian Kolusi

Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
a.         Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu.
b.         Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. 

Secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.

1.         Hukuman Bagi Koruptor di Indonesia

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 dan undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagaiberikut:

a.                     Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda palingsedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri   lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).
b.                     Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan paling banyak satu Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
c.                     Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratuslima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangiatau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangkaatau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21).
d.                     Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
e.                     Pidana tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujudatau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperolehdari tindak pidana korupsi, Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun, Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dandilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjarayang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknyasesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999.

2.         Efek Jera Bagi Koruptor

Di Indonesia itikad untuk membuat jera koruptor masih sebatas wacana.Beberapa usulan pernah dilontarkan ke publik oleh para pakar untuk hukuman koruptor. Seperti hukuman mati, pemiskinan, baju tahanan, hukuman sosial, bahkan penjara seumur hidup. Namun, yang baru terwujud adalah membuat seragam bagi tersangka korupsi. Tujuannya membuat malu tersangka korupsi. Usulan yang lainnya? Hilang tanpa jejak. Sepertinya hukum yang ringan tidak membuat jera para pelaku koruptor.
Berdasarkan analisa,hukuman bagi koruptor tersebut seperti yang tercantum dalam UU Tipikor di atas itu pada faktanya sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Hal ini disebabkan oleh diantaranya:
1.            Hukuman yang memang masih terlalu ringan.
2.            Hukuman yang sangat ringan karena dakwaan jaksa yang lemah.
3.            Harta koruptor yang sudak terbukti sama sekali tidak disita.
4.            Korupsi sudah menjadi hal yang lumrah dalam suatu birokrasi.
5.            Kurangnya legitimasi hukum tipikor karena disebabkan peradilan yang tidak  kredibel serta juga sering menjadi sumber sogok-menyogok.
6.            Penerapan hukuman yang juga tidak berkeadilan, dimana apabila yang menjadi tersangka korupsi dari seorang pejabat besar maka hukuman akan semakin tumpul.
7.            Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak adanya rasatakut bagi para koruptor.
8.            Peranan KPK, BPK, dan Kepolisian yang juga masih rendah dalam pengungkapan kasus korupsi.

Beruntung untuk koruptor Indonesia, hukum penjara yang ringan (sebentar), bahkan jauh di bawah tuntutan jaksa membuat hukum korupsi diIndonesia termaksud yang paling ringan. Pasalnya, masa tahanan koruptor sudah dihitung semenjak menjadi tahanan di penjara. Dan bila ada peringatan hari raya besar, tahanan mendapat remisi (pemotongan masa tahanan) yang bisa membuat para koruptor cepat atau lambat akan menghirup udara bebas.

3.             Hukuman Yang Tepat Bagi Koruptor
Pertama, vonis yang wajib dijatuhkan kepada setiap koruptor tanpakecuali adalah mengembalikan dana senilai yang dia korupsi. Jika dia tida kmampu membayar, harta kekayaannya harus disita oleh negara untukdilelang hingga nilainya mencapai jumlah dana yang harus dia kembalikan [kepada negara].  Penyitaan tetap harus dilakukan bahkan jika itu meliputi seluruh harta kekayaan si koruptor.Jika masih kurang, tambahkan pada masa hukuman penjara baginya. Panjangnya hukuman penjara tambahan ditentukan berdasar jumlah yang tidak dia bayarkan, tanpa ada batas.
Kedua, vonis hukuman penjara inti (yang bukan tambahan) ditetapkan sesuai aturan yang berlaku. Kita semua pasti tahu embel-embelnya: dengan penyesuaian pada prinsip dan rasa keadilan.
Ketiga, terkait dengan fasilitas dan akomodasi yang dia dapat dipenjara, harus dibatasi dengan menggunakan dasar perhitungan standar  hidup masyarakat setempat.

4.      Penegakan hukum yang masih lemah

Berbicara mengenai hukum di Indonesia, maka yang terjadi adalah suatu kemirisan. Betapa suatu proses hukum dapat di manipulasi, yang benar dapat menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi yang paling benar. Satu hal yang diinginkan oleh para pencari keadilan dalam berhukum adalah agar tegaknya supremasi hukum di indonesia. Kalau berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah atau bahkan penghakiman secara massa terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan.
Dalam pemberantasan KKN payung hukum merupakan legalitas formal dalam pelaksanaanya. Tanpa adanya suatu hukum yang mengatur pemberantasan tindakan KKN, maka usaha tersebut hanya sia-sia dan buang-buang waktu saja. Tidak hanya sebatas penerbitan peraturan atau kebijakan yang mengatur masalah pemberantasan KKN saja yang harus dilakukan, melainkan juga pelaksanaan serta pengawasan dari pelaksanaan peraturan tersebut, mulai dari aparatur hukum, pengadilan hingga Mahkamah Agung.
Seringkali kita mendengar istillah mafia peradilan, plesetan Hakim (Hampiri aku kalau ingin menang), dan jual beli hukum. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah bagi sebagian orang, juga menyiratkan bahwa hukum kita bermasalah, lembaga penegak hukum kita bermasalah, bahkan sistem hukum kita pun bermasalah. Kesulitan dalam penegakkan hukum ditemui apabila para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, polisi, tidak bertindak tegas. Dengan demikian tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Terlebih lagi apabila para penegak hukum dapat disuap, maka para pelaku korupsi malah bebas dan berkembang biak. Dalam situasi penegak hukum tidak tegas dan tidak berani berbuat apa-apa, dan policy pimpinan tidak tegas, serta sistem yang tidak berjalan dengan baik, maka gerakan pemberantasan KKN tidak akan berjalan.

5.      Sistem pendidikan yang tidak mengajarkan kotornya KKN
Mengutip tulisan yang dimuat di Kompas Online pada tanggal 11 Maret 2003 bertajuk Memberantas Budaya Korupsi Lewat Pendidikan?yang disusun oleh Paul Suparno seorang dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dimana menurut beliau praktik korupsi di Indonesia sudah menjamur. Tidak ada bidang kehidupan yang tak tercemar virus korupsi, baik yang kecil maupun besar. Bidang pendidikan pun sudah terkena imbas korupsi. Bentuk-bentuk korupsi dalam bidang pendidikan antara lain adalah korupsi waktu para pengajar dalam mengajar, pengkatrolan nilai siswa atau mahasiswa, korupsi nilai, yayasan sekolah dan penyelenggara sekolah memungut dana tambahan untuk keperluan lain di luar sekolah.
Bagaimana hendak memberantas KKN jika generasi-generasi penerus bangsa di masa depan telah terbiasa dengan pola hidup, pola pendidikan yang berbau KKN, oleh karena itu muncul ide agar budaya korupsi itu secara perlahan dihilangkan lewat pendidikan (Kompas, 8/2/2003). Walaupun nampaknya pendidikan tidak akan berdampak apa pun bagi mereka yang sudah telanjur korupsi dan sudah terbiasa menjalankan korupsi, namun akan bedampak bagi generasi penerus kelak.


D.    Pencucian Uang

1.            Sejarah Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money loundering ini telah dikenal sejak dekade tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada dekade 1920-1930 ada kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone adalah seorang penjahat terkenal dari Amerika Serikat. Ia melakukan money laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundering. Usaha binatu milik Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan berbagai perolehan hasil uang haram dari proses kejahatan lain yang berpa cabang usaha yang ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil proses minuman keras illegal, hasil perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran.
Al Capone pun dijebloskan ke dalam penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act. Suatu hal yang sangat luar biasa pada saat mana kepolisian yang bersenjata tidak pernah berhasil menangkapnya. Bahkan konfrontasi bersenjata yang dilakukan polisi untuk menghancurkan kelompok Al Capone dan menangkapnya selalu gagal, karena kelompok itu pun memiliki persenjataan yang sama lengkap dan mematikan dengan yang dimiliki polisi.
Charlie Lucky Luciano, seorang gembong kejahatan Amerika yang memiliki spesialisasi dalam menyelundupkan alcohol dan perjudian gelap, mengirim rekannya, Meyer Lansky untuk mengambil bagian dalam emas Nazi. Lansky berangkat ke Swiss dan membantu mentransfer lebih dari US$300 juta ke dalam rekening-rekening lain hingga sampai ke tangan bosnya yang licik, Al Capone.
 Pada saat yang bersamaan karena pemberlakuan prinsip rahasia bank di swiss pada awal tahun 1930 an, pencucian uang memperoleh pijakah kokoh. Petinggi –petinggi militer nazi Jerman melakukan pencurian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia di bank swiss. Pada saat itu swiss tidak mengkatagorikan penggelapan dan pengelakan pajak sebagai suatu kejahatan, sehingga siapapun yang menyimpan uang dibank –bank swiss tidak akan ditanya soal itu. Identitas nasbah hanya menjadi otoritas direktur bank. Hanya direktur bank yang mengetahui sipa nasabah pemilik nomor tersebut. Oleh karena itu, identitas nasabah hanya berupa nomor kode.
Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui system perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal-usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.

2.            Pengertian pencucian uang

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Dalam buku kitab Blak’s Law Dictiniory, istilah money laundering di artikan dengan,  term applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it appears to have been gotten legall (istilah yang diterapkan untuk mengambilan uang yang didapat secara ilegal dan mencucinya atau pencucian sehingga tampaknya didapatkan secara legall).
Sedangkan menurut para ahli hukum, pencucian uang atau money laundering memiliki berbagai pengertian dari masing-masing ahli hokum tersebut. Seperti pengertian dari ahli hukum Sarah N. Welling, the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (sebuah proses dimana untuk menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau cara ilegal pendapatan, dan juga penyamaran hingga pendapatan untuk menjadi tampak sah). Kemudian Sarah N welling mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunyikan keberadaan ,seumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan yang kemudian  menyamarkan pendapatan itu menjadi sah.Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan ,menyembunyikan uang- uang- ilegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan meuncul kembali sebagai uang yang sah.

3.            Tahap-Tahap atau Mekanisme Pencucian Uang.

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu sebagai berikut.
1.      Tahap Penempatan (Placement)
Tahap Placement merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan disuatu Bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak terindentifikasi. Biasanya dana yang ditempatkan berupa uang tunai dalam jumlah besar yang dibagi ke dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan di beberapa rekening di beberapa tempat.
Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut mendepositkan uang haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Karena uang itu sudah masuk ke dalam system keuangan berarti uang itu telah jua masuk kedalam system keuangan Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu uang yang telah ditempatkan di suatu bank selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain, baik di Negara tersebut maupun di Negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam system keuangan Negara yang bersangkutan, tetapi juga telah masuk ke dalam system keuangan global atau internasional.Jadi placement (penempatan) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam system keuangan.[21] Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
a. Menempatkan dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
c.  Menyelundupkan uang dari suatu Negara ke Negara lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
e Membeli barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain

Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah menunjukkan arah positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, lembaga Pegawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administrative (UU No. 8 Tahun 2010).

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memuat materi muatan, yaitu:
1.      Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian uang.
2.      Penyempurnaan Kriminalisasi tindak pidana Pencucian uang.
3.      Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative.
4.      Pengukuran penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
5.      Perluasan pihak Pelapor.
6.      Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya.
7.      Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan.
8.      Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi.
       9.   Perluasan kewenangan Direktorat jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan  uang tunai dan instrument pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean.
10.  Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian uang.
11.  Perluasan instasi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK.
12.  Penataan kembali kelembagaan PPATK.
13.  Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi.
14.  Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian uang, dan
15.  Pengaturan mengenaii penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dati tindakan pidana.

Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut  pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

A.         Pertama

Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Berdasarkan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, perbbuatan pencucian uang dapat dikelompokkan menjadi aktif dan pasif (Husein 2010). Tindak pidana pencucian uang yang aktif melibatkan orang yang sengaja melakukan pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:

Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentranfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahui atau perlu diduganya merupakan hasil tindak pidana…

Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan harta kekayaan adalah semua benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.

B.         Kedua

Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Berdasarkan Pasal 5 pelaku tindak pidana pasis adalah setiap orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana melalui: a. Penempatan, b. Pentransferan, c. Pembayaran, d. Hibah, e. Sumbangan, f. penitipan, g. Penukaran atau h. Menggunakan harta kekayaan.
Unsure obyektif dalam Pasal 5 di atas adalah perbuatan penempatan, pentranferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan unsure subyektifnya adalah mengetahui, atau patut diduga, bahwa harta kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana.

C.         Ketiga

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.





BAB III
KESIMPULAN
1.      KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

Bahwa tindakan-tindakan penghindaran pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak perorangan maupun badan usaha untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang bersangkutan. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak ataupun badan usaha masih dalam ruang lingkup yang wajar dan tidak melanggar perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau bisa disebut juga legal/sah. Penghindaran pajak dengan penyelundupan pajak sangat berbeda walaupun memiliki sasaran yang sama yaitu untuk mengurangi beban pajak. Namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).

Saat ini di Indonesia, berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31Tahun 1999 dan undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidanakorupsi masih sangat ringan bagi para koruptor.

Bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan hukum.









DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN.

Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas tindak Pidana Korupsi
Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan, tanpa penerbit tanpa tahun.