LAPORAN
PALSU MENGHINDARI PAJAK, KORUPSI, KOLUSI DAN PENCUCIAN UANG
(Makalah ini Disusun Sebagai Salah
Satu Persyaratan Tugas Mata Kuliah)
Dosen
mata kuliah
Disusun
oleh:
Dedi
Iskandar (1112086000011)
Sauqi
Dawam (111208600032)
PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan
manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.Juga tidak lupa pula
shalawat dan salam atas pemimpin umat islam yakni baginda besar Muhammad SAW,
beserta para sahabat dan pengikunya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang singkat ini dengan judul “ Laporan
Palsu Menghindari Pajak, Korupsi, Kolusi Dan Pencucian Uang”.
Makalah ini terdiri dari
pokok-pokok bahasan materi yang membahas tentang Laporan Palsu
menghindari pajak, korupsi, kolusi dan pencucian uang. Materi ini disajikan
secara ringkas yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih.
Terima
kasih kepada bpk. . selaku dosen pembimbing
mata kuliah Profesi Keguruan yang telah
membimbing kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Selain itu kami juga
mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman, yang telah bersedia membaca
dan mempelajarinya. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk
memenuhi tugas mata kuliah yang bersangkutan. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi kita semua selaku calon generasi
pendidik masa depan bangsa.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………......................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................
I.
Laporan palsu
untuk menghindari pajak.....................................................................
II.
Tindakan-tindakan
penghindaran pajak..........................................................................
III.
Pasar Pada Masa
Khulafaurrasyidin...............................................................................
IV. Pasar dalam Pandangan Sarjana Muslim........................................................................
1.
Mekanisme Pasar
Menurut Abu Yusuf (731-798 M)................................................
2.
Evolusi Pasar
Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)...................................................
3.
Pemikiran
Thomas Aquinas Vs Ibnu Taimiah.............................................................
4.
Mekanisme Pasar
Menurut Ibnu Khaldun (1332-1383 M)........................................
V.
Islam Dan Sistem Pasar.................................................................................................
VI. Harga dan
persaingan sempurna pada pasar Islami.........................................................
VII.
Rekayasa Permintaan dan
Penawaran...........................................................................
BAB III
KESIMPULAN.................................................................................................. ..
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pajak memiliki kontribusi yang cukup tinggi dalam penerimaan pendapatan
negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan pendapatan negara dari sektor
pajak berasal dari dua sumber yaitu, pendapatan dalam negeri dan pendapatan
pajak perdagangan Internasional. Pendapatan pajak dalam negeri didominasi oleh
PPh Non-Migas dan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, penerimaan pajak
menjadi penyumbang terbesar dari penerimaan dan pembelanjaan negara.
Penerimaan dari sektor pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran
rutin dan pembangunan negara. Namun, saat ini penerimaan pajak di Indonesia
tergolong masih kurang karena realisasinya belum dapat mencapai target yang
ditetapkan. Rendahnya penerimaan pajak berimplikasi terhadap kebijakan fiskal
terutama dalam pembiayaan program-program strategis seperti jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal inilah yang menjadi penyebab
belum optimalnya pelaksanaan program pembangunan di Indonesia saat ini. Oleh
karena itu, perlu dilakukan tindakan-tindakan guna meningkatkan penerimaan
pendapatan dari sektor pajak. Selain itu, menurut.
Penyelenggaraan Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya
secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan
tanggungjawab pada Presiden/Mandataris MPR RI Di samping itu masyarakat belum
sepenuhnya berperanserta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif
terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung-
jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di
bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan
negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang tumbuhnya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tiga serangkai, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang semula merupakan
istilah umum (“public term”) atau mungkin istilah ilmiah atau akademis
(“scientific term”), kemudian berkembang menjadi istilah yuridis (“legal
term”). Istilah korupsi menjadi istilah yuridis melalui Peraturan Penguasa Militer
No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, dan istilah Kolusi dan
Nepotisme menjadi istilah yuridis melalui UU No. 28 tahun 1999 jo. Tap MPR
No.XI/MPR/1998. Tiga serangkai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan sumber
malapetaka suatu rezim, seperti diungkapkan oleh Wakil Presiden Amerika
Serikat, Al Gore, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat berikut ini.
Singkat kata, KKN tidak lagi merupakan istilah yang berkonotasi
positif seperti yang populer di tahun 1970-an, melainkan berubah makna menjadi
sesuatu yang menjurus pada praktek-praktek kehidupan sosio-ekonopolitik
kultural yang merugikan masyarakat luas, oleh karena itu lalu harus dihadapi
dan ditanggulangi oleh masyarakat pada umumnya dan hukum pada khususnya Untuk
mengetahui secara lebih mendalam gejala sosial yang berupa KKN dan alternatif
penanggulangannya, terutama dari aspek kriminologis, sajian segenggam ini akan
mengetengahkan pembicaraan yang berkisar pada upaya pemahaman tentang KKN dan
alternatif penanggulangannya secara kriminologis.
Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah memberi manfaat yang nyata di bidang perekonomian, khususnya
di dalam mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan
kepada masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi
telah memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatifdan
menarik termasuk melayani transaksitransaksi keuangan yang melintasi batas
negara. Jasa pemindahan dana melalui wire
transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa internet banking dan electronic fund transfer memungkinkan nasabah perbankan memindahkan
dananya dari rekening mereka di satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam
waktu yang sangat singkat. Namun demikian, perkembangan teknologi tersebut
ibarat ”pisau bermata dua”, di satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa
terhadap bidang perekonomian dan bisnis, di sisi lain juga meningkatkan risiko
adanya penyimpangan penggunaan teknologi tersebut untuk tujuan-tujuan jahat. Untuk
itu penulis akan membahas terkait dengan “Laporan
Palsu Menghindari Pajak, Korupsi, Kolusi Dan Pencucian Uang”
1.2
Rumusan masalah
Apa yang
dimaksud dengan penghindaran pajak?
Apa saja
tindakan penghindaran pajak?
Bagai mana
hukuman para koruptor dan kolusi di Indonesia?
Bagaimana
sanksi tindak pidana pencucian uang?
1.3
Metode
Penyusunan
makalah ini menggunakan metode observasi dan kepustakaan, observasi yang
dilakukan seperti studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan
judul makalah. Dan sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet)
yang berhubungan dengan tema makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pajak
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut oleh
pemerintah berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Di
Indonesia, lembaga pemerintah yang mengelola perpajakan negara adalah
Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang
ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
1.
Laporan palsu untuk menghindari pajak
Dalam
penjelasan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (UU
KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap
wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan.
Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban investasi. Wajar bila
perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban pajak dengan melakukan
perencanaan pajak yang efektif. Menurut Arnold dan McIntyre (1995),
penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan upaya penghindaran atau
penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful
fashion).
Perbuatan
dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak
terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak
jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran
pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan
beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama
dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada
yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi,
pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga
pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat
berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah
pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan).
Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak)
yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling
sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi
ketentuan yang berlaku.
1.
Tindakan-tindakan Penghindaran pajak
Setiap wajib pajak ataupun badan usaha berusaha untuk meminimalkan
beban pajak dengan berbagai tindakan-tindakan tetapi tidak melanggar
perundang-undangan perpajakan hal ini dilakukan masih dalam ruang lingkup yang
wajar. Dalam implementasinya wajib pajak ataupun badan usaha untuk meminimalkan
beban pajak yaitu dengan melakukan perencanaan pajak, perencanaan pajak yang
dilakukan dalam perusahaan yaitu dengan melakukan manajemen pajak.
2.
Celah-celah
Penghindaran Pajak
Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) merupakan usaha meminimalkan biaya
pajak yang masih dalam koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.
Biasanya penghindar pajak menggunakan celah-celah dari undang-undang yang belum
mengaturnya. Salah satu cara melakukan Tax Avoidance yang populer saat ini adalah dengan
menggunakan instrumen keuangan. Karena belum adanya peraturan perpajakan
Indonesia yang baku dalam mengatur transaksi instrumen keuangan tersebut,
kita dapat mengintepretasikan pengakuan laba/rugi maupun utang/modal sesuai
pertimbangan manajemen.
3.
Cara-cara
Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu
wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh:
1.
Tidak
merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
2.
Tidak
menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak
atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang
dari plastik.
Secara moral, hal ini tidak tercela karena
tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi
kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang
mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan
terpuji.
2.
Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili
dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan
oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM,
SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus
sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang
mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada
pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang
baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena
merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3.
Penghindaran pajak secara yudiris
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga
perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan
dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah
yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.
4.
Perbedaan Penghindaran Pajak dan Penggelapan Pajak
Suatu perencanaan pajak atau disebut juga
penghindaran pajak,harus dengan jelas dibedakan dengan
penyelundupan/penggelapan pajak. Antara penghindaran pajak dan penyelundupan
pajak mempunyai perbedaan yang fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut
menjadi kabur baik secara teori maupun aplikasinya.Walaupun pada dasarnya
antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama
yaitu mengurangi beban pajak, namun berdasarkan konsep perundang-undangan,
garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan
tidak melanggar undang-undang (lawful).
Perencanaan
pajak sesungguhnya merupakan
tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi
pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara dengan cara
penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran pajak adalah
suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran hukum dan akan
diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan agar terhindar
dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Sedangkan penyelundupan
pajak merupakan tindakan ilegal yangmelanggar perundang-undangan perpajakan
dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi
perpajakan.
Ada
beberapa pendapat para
ahli yang membedakan
definisi antara penghindaran pajak
dan penyelundupan pajak, antara lain :
21 James dan Prest yang diterjemahkan oleh Zain
(2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi
secara ilegal atas penghasilannya
untuk memperkecil jumlah
pajak yang terutang, sedangkan penghindaran pajak
diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakanuntuk memperkecil jumlah pajak yang
terutang.
22 Anderson
yang diterjemahkan oleh
Zain (2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak adalah
penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak,sedangkan penghindaran
pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui
perencanaan pajak.
B.
Pengertian
Korupsi
Korupsi atau
rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang secara tidak wajar
dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Jenis tindak
pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah memberi atau menerima
hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam
jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),
dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Didalam
Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 188 Allah berfirman :
“Dan
janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal
kamu mengetahui. ( Al-Baqarah/2 : 188)
Tafsiran :
menurut tafsir Nurul Qur’an yang dikarang oleh Alamah Kamal Faqih Imani, ayat
diatas melarang kaum muslimin melakukan tindakan yang sangat buruk. Ayat ini
memberi tahu bahwa tidak boleh memakan harta orang lain dengan tidak benar dan
mencari harta dengan jalan yang salah. Selain itu tidak diperbolehkan merebut
harta milik orang lain dengan jalan paksa dan tidak adil kemudian sang penindas
(orang yang merebut harta) tersebut mengadu kepada para hakim sehingga mereka
akan memberi para hakim sesuatu sebagai hadiah atau suap dengan tujuan memiliki
harta orang lain dengan cara kekerasan. Apabila keadaan seperti itu maka telah
melakukan dua kedzaliman besar : yaitu memakan hak orang lain dan penyuapan (Kamal Faqih Imani, Tafsir
Nurul Qur’an, (Jakarta, Al-Huda: 2003), hal.102)
Dari ‘Adiy
bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa
di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah
ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy)
berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia
berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan."
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia
menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya
perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun
berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang
kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa
(seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan
kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka
tidak boleh.”
C.
Pengertian
Kolusi
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan
tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan
kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas
tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia,
kolusi sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya
dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
a.
Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada
oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan
tender pengadaan barang dan jasa tertentu.
b.
Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang
dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2
G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan
kata lain secara langsung.
Secara garis besar, Kolusi adalah
pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau
antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat
dan Negara.
1.
Hukuman Bagi
Koruptor di Indonesia
Berdasarkan
ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 dan undang-undang nomor 20 tahun
2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa
tindak pidana korupsi adalah sebagaiberikut:
a.
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
palingsedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negaraatau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).
b.
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh jutarupiah) dan paling banyak satu Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atauorang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
c.
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00
(seratuslima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus
juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangiatau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan
pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangkaatau terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21).
d.
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enamratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud
dalam pasal28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
e.
Pidana tambahan
Perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujudatau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperolehdari tindak pidana korupsi, Pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1(satu) tahun, Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau
dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Jika terpidana tidak membayar
uang pengganti paling lama dalam waktu1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperolehkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dandilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, Dalam hal terpidana
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka
terpidana dengan pidana penjarayang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum
dari pidana pokoknyasesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999.
2.
Efek Jera
Bagi Koruptor
Di Indonesia
itikad untuk membuat jera koruptor masih sebatas wacana.Beberapa usulan pernah
dilontarkan ke publik oleh para pakar untuk hukuman koruptor. Seperti hukuman
mati, pemiskinan, baju tahanan, hukuman sosial, bahkan penjara seumur hidup.
Namun, yang baru terwujud adalah membuat seragam bagi tersangka korupsi.
Tujuannya membuat malu tersangka korupsi. Usulan yang lainnya? Hilang tanpa
jejak. Sepertinya hukum yang ringan tidak membuat jera para pelaku koruptor.
Berdasarkan
analisa,hukuman bagi koruptor tersebut seperti yang tercantum dalam UU Tipikor
di atas itu pada faktanya sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Hal ini
disebabkan oleh diantaranya:
1.
Hukuman yang memang masih terlalu ringan.
2.
Hukuman yang sangat ringan karena dakwaan jaksa yang
lemah.
3.
Harta koruptor yang sudak terbukti sama sekali tidak
disita.
4.
Korupsi sudah menjadi hal yang lumrah dalam suatu
birokrasi.
5.
Kurangnya legitimasi hukum tipikor karena disebabkan
peradilan yang tidak kredibel serta juga
sering menjadi sumber sogok-menyogok.
6.
Penerapan hukuman yang juga tidak berkeadilan, dimana
apabila yang menjadi tersangka korupsi dari seorang pejabat besar maka hukuman
akan semakin tumpul.
7.
Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sehingga
tidak adanya rasatakut bagi para koruptor.
8.
Peranan KPK, BPK, dan Kepolisian yang juga masih
rendah dalam pengungkapan kasus korupsi.
Beruntung
untuk koruptor Indonesia, hukum penjara yang ringan (sebentar), bahkan jauh di
bawah tuntutan jaksa membuat hukum korupsi diIndonesia termaksud yang paling
ringan. Pasalnya, masa tahanan koruptor sudah dihitung semenjak menjadi tahanan
di penjara. Dan bila ada peringatan hari raya besar, tahanan mendapat remisi
(pemotongan masa tahanan) yang bisa membuat para koruptor cepat atau lambat
akan menghirup udara bebas.
3.
Hukuman Yang
Tepat Bagi Koruptor
Pertama,
vonis yang wajib dijatuhkan kepada setiap koruptor tanpakecuali adalah
mengembalikan dana senilai yang dia korupsi. Jika dia tida kmampu membayar,
harta kekayaannya harus disita oleh negara untukdilelang hingga nilainya
mencapai jumlah dana yang harus dia kembalikan [kepada negara]. Penyitaan tetap harus dilakukan bahkan jika
itu meliputi seluruh harta kekayaan si koruptor.Jika masih kurang, tambahkan
pada masa hukuman penjara baginya. Panjangnya hukuman penjara tambahan
ditentukan berdasar jumlah yang tidak dia bayarkan, tanpa ada batas.
Kedua, vonis
hukuman penjara inti (yang bukan tambahan) ditetapkan sesuai aturan yang
berlaku. Kita semua pasti tahu embel-embelnya: dengan penyesuaian pada prinsip
dan rasa keadilan.
Ketiga,
terkait dengan fasilitas dan akomodasi yang dia dapat dipenjara, harus dibatasi
dengan menggunakan dasar perhitungan standar
hidup masyarakat setempat.
4.
Penegakan
hukum yang masih lemah
Berbicara mengenai hukum di Indonesia, maka yang terjadi adalah suatu
kemirisan. Betapa suatu proses hukum dapat di manipulasi, yang benar dapat
menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi yang paling benar. Satu hal yang
diinginkan oleh para pencari keadilan dalam berhukum adalah agar tegaknya
supremasi hukum di indonesia. Kalau berbicara tentang korupsi, seringkali
respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang
menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau
maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah atau bahkan
penghakiman secara massa terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan
berhamburan.
Dalam pemberantasan KKN payung hukum merupakan
legalitas formal dalam pelaksanaanya. Tanpa adanya suatu hukum yang mengatur
pemberantasan tindakan KKN, maka usaha tersebut hanya sia-sia dan buang-buang
waktu saja. Tidak hanya sebatas penerbitan peraturan atau kebijakan yang
mengatur masalah pemberantasan KKN saja yang harus dilakukan, melainkan juga
pelaksanaan serta pengawasan dari pelaksanaan peraturan tersebut, mulai dari
aparatur hukum, pengadilan hingga Mahkamah Agung.
Seringkali kita mendengar istillah mafia
peradilan, plesetan Hakim (Hampiri aku kalau ingin menang),
dan jual beli hukum. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah bagi sebagian
orang, juga menyiratkan bahwa hukum kita bermasalah, lembaga penegak hukum kita
bermasalah, bahkan sistem hukum kita pun bermasalah. Kesulitan dalam penegakkan hukum ditemui apabila para penegak hukum,
seperti jaksa, hakim, polisi, tidak bertindak tegas. Dengan demikian tidak akan
terjadi perubahan apa-apa. Terlebih lagi apabila para penegak hukum dapat
disuap, maka para pelaku korupsi malah bebas dan berkembang biak. Dalam situasi
penegak hukum tidak tegas dan tidak berani berbuat apa-apa, dan policy pimpinan
tidak tegas, serta sistem yang tidak berjalan dengan baik, maka gerakan
pemberantasan KKN tidak akan berjalan.
5.
Sistem
pendidikan yang tidak mengajarkan kotornya KKN
Mengutip tulisan yang dimuat di Kompas Online pada tanggal
11 Maret 2003 bertajuk Memberantas Budaya Korupsi Lewat Pendidikan?yang
disusun oleh Paul Suparno seorang dosen di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, dimana menurut beliau praktik korupsi di Indonesia sudah menjamur.
Tidak ada bidang kehidupan yang tak tercemar virus korupsi, baik yang kecil
maupun besar. Bidang pendidikan pun sudah terkena imbas korupsi. Bentuk-bentuk
korupsi dalam bidang pendidikan antara lain adalah korupsi waktu para pengajar
dalam mengajar, pengkatrolan nilai siswa atau mahasiswa, korupsi nilai, yayasan
sekolah dan penyelenggara sekolah memungut dana tambahan untuk keperluan lain
di luar sekolah.
Bagaimana hendak memberantas KKN jika generasi-generasi penerus bangsa di
masa depan telah terbiasa dengan pola hidup, pola pendidikan yang berbau KKN,
oleh karena itu muncul ide agar budaya korupsi itu secara perlahan dihilangkan
lewat pendidikan (Kompas, 8/2/2003). Walaupun nampaknya pendidikan tidak akan
berdampak apa pun bagi mereka yang sudah telanjur korupsi dan sudah terbiasa
menjalankan korupsi, namun akan bedampak bagi generasi penerus kelak.
D.
Pencucian
Uang
1.
Sejarah
Pencucian Uang
Istilah
pencucian uang atau money loundering ini telah dikenal sejak dekade tahun 1930
di Amerika Serikat, yaitu ketika seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan
resmi sebagai strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian
pakaian atau disebut Laundromat yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada
dekade 1920-1930 ada kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone adalah seorang
penjahat terkenal dari Amerika Serikat. Ia melakukan money laundry terhadap
uang haram yang didapatnya dengan menggunakan jasa seorang akuntan cerdas
bernama Meyer Lansky. Money laundry yang dilakukannya adalah melalui usaha
binatu (laundry). Itulah asal muasal nama money loundering. Usaha binatu milik
Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan berbagai perolehan hasil uang
haram dari proses kejahatan lain yang berpa cabang usaha yang ditanamkan ke
perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil proses minuman keras
illegal, hasil perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran.
Al Capone
pun dijebloskan ke dalam penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act.
Suatu hal yang sangat luar biasa pada saat mana kepolisian yang bersenjata tidak
pernah berhasil menangkapnya. Bahkan konfrontasi bersenjata yang dilakukan
polisi untuk menghancurkan kelompok Al Capone dan menangkapnya selalu gagal,
karena kelompok itu pun memiliki persenjataan yang sama lengkap dan mematikan
dengan yang dimiliki polisi.
Charlie
Lucky Luciano, seorang gembong kejahatan Amerika yang memiliki spesialisasi
dalam menyelundupkan alcohol dan perjudian gelap, mengirim rekannya, Meyer
Lansky untuk mengambil bagian dalam emas Nazi. Lansky berangkat ke Swiss dan
membantu mentransfer lebih dari US$300 juta ke dalam rekening-rekening lain
hingga sampai ke tangan bosnya yang licik, Al Capone.
Pada saat yang bersamaan karena pemberlakuan
prinsip rahasia bank di swiss pada awal tahun 1930 an, pencucian uang
memperoleh pijakah kokoh. Petinggi –petinggi militer nazi Jerman melakukan
pencurian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia di bank swiss. Pada saat itu
swiss tidak mengkatagorikan penggelapan dan pengelakan pajak sebagai suatu
kejahatan, sehingga siapapun yang menyimpan uang dibank –bank swiss tidak akan
ditanya soal itu. Identitas nasbah hanya menjadi otoritas direktur bank. Hanya
direktur bank yang mengetahui sipa nasabah pemilik nomor tersebut. Oleh karena
itu, identitas nasabah hanya berupa nomor kode.
Bagi
organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam
satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui system
perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan
tersebut lama-kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan
menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat
penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan
bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal-usul Harta
Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh
penegak hukum.
2.
Pengertian
pencucian uang
Pencucian
uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil
tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal
dari kegiatan yang sah.
Dalam buku
kitab Blak’s Law Dictiniory, istilah money laundering di artikan dengan, term applied to taking money gotten illegally
and washing or laundering it so it appears to have been gotten legall (istilah
yang diterapkan untuk mengambilan uang yang didapat secara ilegal dan
mencucinya atau pencucian sehingga tampaknya didapatkan secara legall).
Sedangkan
menurut para ahli hukum, pencucian uang atau money laundering memiliki berbagai
pengertian dari masing-masing ahli hokum tersebut. Seperti pengertian dari ahli
hukum Sarah N. Welling, the process by which one conceals the existence,
illegal source, or illegal application of income, and than disguises that
income to make it appear legitimate (sebuah proses dimana untuk menyembunyikan
keberadaan, sumber ilegal, atau cara ilegal pendapatan, dan juga penyamaran
hingga pendapatan untuk menjadi tampak sah). Kemudian Sarah N welling
mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh
seseorang menyembunyikan keberadaan ,seumber ilegal atau aplikasi ilegal dari
pendapatan yang kemudian menyamarkan
pendapatan itu menjadi sah.Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu
proses mengaburkan ,menyembunyikan uang- uang- ilegal melalui sistem keuangan
sehingga ia akan meuncul kembali sebagai uang yang sah.
3.
Tahap-Tahap
atau Mekanisme Pencucian Uang.
Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang,
yaitu sebagai berikut.
1. Tahap Penempatan (Placement)
Tahap
Placement merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan
disuatu Bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk
uang tersebut agar tidak terindentifikasi. Biasanya dana yang ditempatkan
berupa uang tunai dalam jumlah besar yang dibagi ke dalam jumlah yang lebih
kecil dan ditempatkan di beberapa rekening di beberapa tempat.
Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut
mendepositkan uang haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system).
Karena uang itu sudah masuk ke dalam system keuangan berarti uang itu telah jua
masuk kedalam system keuangan Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu uang
yang telah ditempatkan di suatu bank selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank
lain, baik di Negara tersebut maupun di Negara lain, maka uang tersebut bukan
saja telah masuk ke dalam system keuangan Negara yang bersangkutan, tetapi juga
telah masuk ke dalam system keuangan global atau internasional.Jadi placement
(penempatan) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan
tindak pidana ke dalam system keuangan.[21] Bentuk kegiatan ini antara lain
sebagai berikut:
a. Menempatkan dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai
pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
c. Menyelundupkan uang dari suatu
Negara ke Negara lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau terkait dengan usaha yang
sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
e Membeli
barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain
yang pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain
Penanganan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah menunjukkan arah
positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana
Undang-Undang tentang tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa
keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, lembaga Pegawas dan Pengatur
dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil
analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administrative (UU No.
8 Tahun 2010).
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memuat materi
muatan, yaitu:
1.
Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian
uang.
2.
Penyempurnaan Kriminalisasi tindak pidana Pencucian uang.
3.
Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative.
4.
Pengukuran penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
5.
Perluasan pihak Pelapor.
6.
Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa
lainnya.
7. Penataan
mengenai Pengawasan Kepatuhan.
8.
Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi.
9.
Perluasan kewenangan Direktorat jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai dan instrument pembayaran
lain ke dalam atau ke luar daerah pabean.
10. Pemberian
kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak
pidana Pencucian uang.
11. Perluasan
instasi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK.
12. Penataan
kembali kelembagaan PPATK.
13. Penambahan
kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi.
14. Penataan
kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian uang, dan
15. Pengaturan
mengenaii penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dati tindakan pidana.
Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak
pidana:
A.
Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif,
yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Berdasarkan UU Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, perbbuatan pencucian uang dapat
dikelompokkan menjadi aktif dan pasif (Husein 2010). Tindak pidana pencucian
uang yang aktif melibatkan orang yang sengaja melakukan pencucian uang
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:
Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan,
mentranfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahui atau perlu
diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak,
atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU
Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan
harta kekayaan adalah semua benda bergerak maupun benda tidak bergerak, baik
berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung.
B.
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Berdasarkan Pasal 5 pelaku tindak
pidana pasis adalah setiap orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana melalui: a. Penempatan,
b. Pentransferan, c. Pembayaran, d. Hibah, e. Sumbangan, f. penitipan, g.
Penukaran atau h. Menggunakan harta kekayaan.
Unsure obyektif dalam Pasal 5 di
atas adalah perbuatan penempatan, pentranferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan unsure subyektifnya adalah
mengetahui, atau patut diduga, bahwa harta kekayaan yang didapat merupakan hasil
tindak pidana.
C.
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010,
dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap
sama dengan melakukan pencucian uang.
BAB III
KESIMPULAN
1. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan yaitu :
Bahwa tindakan-tindakan penghindaran pajak
dapat dilakukan oleh wajib pajak perorangan maupun badan usaha untuk mengurangi
atau meminimalkan beban pajak yang bersangkutan. Penghindaran pajak yang dilakukan
oleh wajib pajak ataupun badan usaha masih dalam ruang lingkup yang wajar dan
tidak melanggar perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau bisa disebut
juga legal/sah. Penghindaran pajak dengan penyelundupan pajak sangat berbeda
walaupun memiliki sasaran yang sama yaitu untuk mengurangi beban pajak. Namun
berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara
melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Saat ini di
Indonesia, berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31Tahun 1999 dan
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan
hakim terhadap terdakwa tindak pidanakorupsi masih sangat ringan bagi para
koruptor.
Bahwa tujuan
pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan
hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat
digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah
performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan
menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas
bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir
pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu
agar terhindar dari tuntutan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Undang-undang
No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN.
Undang-undang
No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas tindak Pidana Korupsi
Kwik Kian
Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan, dan Keadilan, tanpa penerbit tanpa tahun.